Injil yang diperdengarkan dalam misa hari ini menggambarkan dua tantangan iman, yakni bencana manusia dan penolakan atas iman.
AKHIR ZAMAN
Luk 21:5-19
Injil yang diperdengarkan dalam misa hari ini menggambarkan dua tantangan iman, yakni bencana manusia dan penolakan atas iman. Dua tantangan ini mewakili dua kegelisahan terbesar umat manusia di zaman modern ini.
a. Bencana, seperti perang, kelaparan, dan bencana alam, dan kerusakan lingkungan hidup, adalah situasi kesesakan bersama semua manusia, tanpa kecuali. Bencana menjadi situasi “tanpa identitas” karena dapat datang dan dialami oleh semua orang tanpa membeda-bedakan agama, ras, atau golongannya. Saat ini, bahkan bencana “buatan manusia” atas manusia dan lingkungan juga dialami “tanpa identitas”, sebab setiap bencana yang diciptakan ternyata berpengaruh buruk terhadap bagian terdalam dan terpenting setiap makhluk hidup, yakni dunia sebagai rumah tinggal bersama, dan kehidupan itu sendiri.
b. Penolakan, yakni saat-saat manusia tidak bersedia mengakui kebenaran, dan berusaha menutupi atau menjegalnya dengan menolak orang-orang yang mewartakan iman. Zaman modern, yang ditandai dengan berbagai macam kemajuan dan kemudahan, ternyata menyediakan “sisi lain”, yakni praktik “kekuasaan” baru atas nama modal dan penguasaan kekayaan dan penurunan nilai-nilai. Nilai-nilai yang dianggap sulit untuk dicerna atau dipikirkan diganti dengan nilai-nilai “praktis”, menghibur, lucu, “moderat”, yang sebenarnya hanya menutupi keengganan komunitas manusia untuk berpikir kritis terhadap dirinya sendiri dan dunianya. Manusia sedang berada pada fase “cari aman” dan “cari makan”, dan “sedang tidak mau sibuk” dan “tidak mau diganggu”.
Firman TUHAN tentang penderitaan dan penolakan ini persis datang sebagai kritik bagi praktik iman kita, yang mestinya lebih kuat di zaman ini. sebagai orang beriman, kita tidak diharapkan hanya menjadi “pengagum Bait Allah”, yang selesai dengan obsesi mayoritas, obsesi praktik keagamaan ritual, lalu menjadi acuh tak acuh pada kegelisahan dunia. Yesus mengingatkan kita tentang dua hal penting:
a. Kegelisahan dunia sebagai “bencana bersama” mesti dan harus menjadi “bencana Gereja” yang menggerakkan sikap peduli dan aksi nyata. Karena itu, setiap orang beriman mesti menjadi manusia dan saudara bagi sesamanya, makhluk hidup yang melengkapi kelestarian bumi (bukan spesies invasif), dan pelayan dan saksi TUHAN (bukan tuhan kecil).
b. Perjuangan iman mesti setia disuarakan sebagai perjuangan kenabian, yang disuarakan untuk menggugah kita dan mereka yang “tidak mau sibuk” dan “tidak mau diganggu” untuk segera peduli dan berhenti jadi serakah. Suara kenabian yang murni selalu memiliki konsekuensi “penolakan”, sebab merupakan suara yang berseberangan dengan suara-suara keserakahan dunia. Dalam penolakan ini, Gereja justru memperoleh identitas kenabian. Untuk itu, orang-orang beriman mesti setia mempertahankan “jarak”, terutama dengan berbagai jenis sikap yang mengarahkan manusia terhadap “bencana bersama”. Orang-orang beriman mesti mempertahankan prinsip dan jarak pemisah yang tegas dengan nilai-nilai atau praktik serakah dan berpotensi merusak manusia dan lingkungan dengan segala keutuhannya.
Pada bagian akhir, Tuhan Yesus berpesan, bahwa tidak pernah ada kata “kalah” untuk siapapun yang setia menjadi pewarta kebenaran iman. Di dunia ini, kebenaran akan selalu menang karena kasih TUHAN. Tetapi, apakah anda bersedia menyuarakannya?
Katedral Ruteng, 13 November 2022
Rm. Valerian Karitas, Pr.