Diakon Erlich Heabert: Sayap Superman, Sorong Papua dan Rahmat Tahbisan

Diakon. Earlich Heabert atau sering disapa Diakon. Erlich, merupakan salah satu Diakon yang ditabhiskan oleh Yang Mulia Mgr. Siprianus Hormat, Pr. Diakon Earlich berasal dari Konggang, Paroki Katedral Ruteng.

Diakon. Earlich Heabert atau sering disapa Diakon. Erlich, merupakan salah satu Diakon yang ditahbiskan oleh Yang Mulia Mgr. Siprianus Hormat, Pr. Diakon Earlich berasal dari Konggang, Paroki Katedral Ruteng. Anak kedua dari 5 bersaudara dari pasangan ayah Paulus Habur dan ibu Ferriane Engelin Kaunang ini mengambil motto tahbisan “Kepada kasih setia-Mu aku percaya” (Mzm. 13:6a). Motto tahbisan ini berangkat dari pengalaman hidup yang Diakon. Earlich alami dalam ziarah panggilannya. Kepercayaan akan panggilan Tuhan melalui benih panggilan yang ia alami nyata berkarya dalam hidupnya. Sejak dari Makassar hingga pindah ke Ruteng. Sejak menjalani masa formasi, masa TOP hingga ditahbiskan menjadi Imam. Tim Media dan Publikasi Paroki Katedral Ruteng berkesempatan mewawancarai Diakon. Earlich di sela-sela persiapan menjelang hari H tahbisan.


EL: Diakon, ada satu pertanyaan wajib yang senantiasa ditanyakan kepada para diakon saat hendak ditabhiskan. Apakah Diakon punya pengalaman rohani tentang panggilan Tuhan?

EH: Ketertarikan awal mau menjadi imam itu muncul di kelas 2 SD. Dulu di sekolah kami itu ada tradisi misa setiap hari Jumat dan para suster mengundang pastor-pastor dari paroki atau dari seminari untuk misa di sekolah. Kemudian saya melihat sosok pastor. Saya masih ingat namanya karena beliau formator di Seminari Menengah Santo Petrus Claver namanya Pastor Martin. Saya waktu itu belum tahu warna pakaian liturgi. Saya melihat pakaiannya indah sekali. Nah karena ketertarikan itu, saya akhirnya membuat tiru-tiruan pastor-pastoranlah di rumah. Saya membeli biskuit Roma Kelapa dengan Fanta kemudian ganti jubah dengan handuk. Ikat di leher seperti sayapnya superman. Nah orang tua saat itu lihat tertawa, “kenapa ini nak” tanya bapa saat itu. “ae bapak tadi saya lihat pastor di sekolah beliau pake pakaian seperti ini” jawab saya polos. Namanya anak-anak, saya ditertawai.

Apakah ada pengalaman lainnya?

Ada dan itu berlanjut pada saat saya kelas VI SD tahun 2005. Saat itu, kakak sulung saya masuk Seminari Menengah Santo Petrus Claver. Nah sistemnya di sana itu kalau masuk KPB harus karantina. Waktu itu kakak saya minta dibawakan buku gambar dan spidol. Kebetulan waktu itu saya yang hantar ke Seminari. Begitu tiba di Seminari langsung diterima oleh Pastor Martin. Saya mulai tanya-tanya pastor. “Kalau masuk semianri itu bagaimana?” Dia bilang “Engko kelas berapa?” Masih SD Pastor. “Ae engko tunggu dulu yah. Selesai SMP baru engko masuk ikut jejak kakakmu” jawab Pastor Martin.

Bagaimana kelanjutan benih panggilan yang Diakon alami setelah di Ruteng.

Tiba di Ruteng, saya sempat tanya bapa. “Bapa di Manggarai itu ada seminari ka?” Bapa bilang ada selesai SD bisa. Eh ternyata 2005 baru pindah sudah bulan Agustus. Saya langsung SMP kelas 1. Waktu tiba di sini bapa bilang “ae sudah tidak bisa. Seminari Kisol itu sudah tutup”. Saya jawab “ae kalau Tuhan masih panggil saya ada saja jalan”.

Setelah Diakon tidak masuk ke Seminari Kisol, kemana Diakon menempuh masa formasi?

Saya melanjutkan Pendidikan Menengah Pertama (SMP) di SMP Negeri 2 Langke Rembong. Saat itu pas saya kelas 3, tepatnya tahun 2008 pas kami lagi olahraga di lapangan volley, pa Ignas ke kelas bawa formular Seminari. Beliau umumkan. “siapa yang mau lamar Seminari?”ada Seminari”. Waktu itu mereka belum bilang Seminari St. Yohanes Paulus II Labuan Bajo. Saya langsung daftarkan diri sebagai peserta. Setelah itu kami testing. Kami ada 367 orang. Tes di Assumpta tahun 2008. Pengumuman bahwa kami diterima itu muncul bulan April dan diterima hanya 97 orang. Saat itu SMP Imacculata sudah terima hasil, SMP Fransiskus juga sudah keluar hasilnya yang belum terima itu SMPN 2. Saya sudah pasrah. “ta toe ma lulus kaku ga”.

Bagaimana selanjutnya Diakon?

Nah saat itu siang-siang kalau saya tidak salah ingat. Tiba-tiba kami dipanggil. Saya lihat ada orang yang bawa amplop. Kemudian ibu guru Agama katakan, “Erlic profisiat e. kalian lulus e”. Saya dengan teman Albert Da dari Rangkat. Saya diterima. Singkat cerita, saat itu 97 orang yang lulus, 80 yang masuk KPB. Kemudian kami menjalankan proses formasi. Kami tamat 29 orang. Sampai sekarang Projo 3 orang SVD  3 orang tahun depan ditahbiskan dan SMM 1 orang. OFM yang tidak ada. Sehingga kruang lebih sisa 7 masih bertahan.

Selama Diakon menjalani proses formasi, tantangan apa saja yang dialami?

Eh baik pada masa formasi tantangan yang saya alami yah tidak ada menurut saya. Berangkat dari prinsip hidup. Satu saja kuncinya, kalau kita sudah punya iklim disiplin diri yang boleh dikatakan mantap, saya rasa dimana saja kita berada, prinsip itu yang selalu jadi  kekuatan. Dan di satu sisi juga, saya selalu punya prinsip menjalankan kedispilinan itu dari hati. Jangan dibuat-buat. Kalau dibuat-buat suatu saat pas ada tantangan dan kesulitan, pasti gampang goyah.

Diakon menjalani masa Tahun Orientasi Pastoral (TOP) di Sorong, Papua. Bagaimana cerita awalnya, Diakon?

Diluar dugaan saya dapat di Sorong. Karena waktu itu bukan angkatan kami yang dapat di sana. Tunggu frater TOP Ritapiret sebelumnya habis masa TOPnya baru kirim yang baru. Tapi waktu itu setelah senior di atas kam, terus saya dengan frater Ardus bergabung. Di Papua juga awal-awal memang saya harus menyesuaikan dengan kebudayaan di sana juga dengan pola Seminari. Yah diawal cukup membuat saya harus lebih ekstra beradaptasi. Tapi itu tadi saya katakan “Tuhan Engkau punya mau utus saya ke sini saya serahkan semuanya. Kalau Engkau betul-betul mengasihi saya Engkau jaga sampai saya selesai TOP apa pun kesulitannya. Jaga saya”.

Apakah ada cerita yang begitu mengesankan dari tanah Sorong, Papua?

Saya membawa idealisme sebagai frater TOP, membawa sejuput idealisme ke sana. Menariknya pada suatu hari saya umumkan kepada anak Seminari. “tolonglah kita biasakan membangun tradisi kehidupan Seminari. Kedisiplinan, etiket, tata krama karena tidak ada gunanya kalau kita mengenyam pendidikan yang tinggi jika penerapannya nihil. “Lalu ada satu anak Seminari, sekarang dia frater OSA. Dia complain. Di sana yang bagusnya itu, orang tidak segan-segan untuk protes. Dia protes ”frater kami ini di Bumi Cendrawasih. Seminari di Bumi Cendrawasih. Jangan bandingkan kami dengan seminari di sana di NTT. Apa yang kami hidupi di sini ikuti saja frater” Saya hanya jawab seperti ini. “adik mau dari Sabang sampe Merauke mau dari Vatikan sampe Sorong ini semua sama prinsip hidup seminari disipilin itu penting. Saya tidak punya niat membandingkan tidak tapi saya mau mengajak untuk saling belajar entah Seminari di NTT atau di sini kita punya prinsip yang sama”. Itu tantangan di awal menurut saya. Kemudian saya meminta masukan dari guru dan mereka bilang “pelan pelan tapi tetap menghargai mereka”.

Ada cerita lain saat masa TOP, Diakon?

Paling menarik sepanjang saya TOP itu pas saya menjaga anak-anak yang sakit. Saya refleksikan itu yang membuat saya memutuskan kembali menjalani panggilan ini dan kembali melayani umat di kemudian hari. Jadi sedikit-dikit pas saya masih mengajar dapat informasi anak asrama sakit. Dan itu yah saya bertanggung jawab mengantar mereka ke Klinik atau ke Rumah Sakit. Mereka itu sakit ada saja, ada yang infeksi saluran kencing, malaria, kecelakaan saat atraksi THS. Saya yah nginap tidur di lantai. Pernah satu kali, satu murid ni karena operasi besar dia tidak bisa buang air. Saya laporkan ke petugas Kesehatan. “pa yang urus” sambil mereka memberikan tempatnya. Artinya mau tidak mau saya yang urus. Awalnya beban. Belum lagi saya bagi waktu di Seminari dan dengan anak anak yang sakit. Dan pengalaman ini yang menguatkan saya.

Setelah selesai TOP, apa yang membuat Diakon semakin mantap di jalan panggilan ini?

Saya memutuskan tetap pada jalan panggilan ini di bulan-bulan terakhir. Saya bilang “Tuhan dunia ini selalu menawarkan kasih tapi kadang kasih itu hari ini lain besok lain tapi karena Engkau mengasihi saya saya percaya Engkau jaga saya Engkau berikan saya hati nurani untuk keputusan bulat saya, saya mau mengikuti Engkau”. Puji Tuhan tidak ada halangan

Motto tabhisan diambil dari mazmur 13: 6a. Mengapa mengambil ayat Mazmur?

Sore hari jam 6 setelah ibadat, saya ke kamar. Di kamar ada salib. Saya bilang ”Tuhan kami sudah diarahkan menetukan motto tahbisan. Tolong berikan petunjukMu apa kira-kira motto yang bisa saya pakai untuk perjalanan selanjutnya”. Tiba-tiba saja saya buka alkitab. Mazmur bab 6 tertulis doa kepercayaan ternyata itu Mazmur Daud. Saya baca-baca, oe ini petunjuk yang Tuhan beri. Dan di ayat 6a ada rumusan “tetapi aku kepada kasih setiaMu aku percaya” Ini sudah kalimat ini. Dan saya renungkan itu memang kasih Tuhan itu seperti itu.

Diakon, bagaimana peran keluarga dalam ziarah panggilan?

Tentang panggilan saya, peran keluarga sangat besar. Saya bertolak dari karakter orang tua. Bapa itu seorang yang prinsipil dan pekerja keras. Kemudian juga semangat, selalu bersuka cita dan juga tidak pernah berpikir susah tentang hidup. Mungkin bagi kebanyakan orang ketika kita berhadapan dengan beliau, mungkin kita pikir orang ini tidak pernah ada beban dalam hidup. Tetapi kita tahu sebenarnya ada beban yang dia pikul. Ada tanggung jawab yang dipikul. Berangkat dari pribadi beliau saya belajar perkara dunia ini Tuhan sudah atur semua. Dan puji Tuhan selama ini saya belajar dari pribadi orang tua. Setiap kali saya ada beban, saya bawa ke Tuhan. Kemudian dari mama. Mama orangnya obyektif. Ketika berhadapan dengan sikap bapa, mama selalu katakan “ril saja ka”. Saya belajar dari mama tentang obyektif. Kemudian saya menggabungkan dua pribadi orang tua ini bahwa melihat persoalan secara obyektif tapi jangan memperlihatkan kepada orang kalau kita sedang pikul beban. Selalu bersuka cita serahkan kepada tuhan. Bapa selalu katakan, saya tidak pernah ajar kamu untuk belajar tapi saya lebih dulu belajar entah kamu mau ikut atau tidak keputusan ada pada kalian. Ini yang saya lakukan selama ini. Saya buat dulu kemudian apa yang saya buat bisa membuat kesaksian buat orang lain.

 

Apakah ada peran dari teman-teman SMP?

Oe itu yang saya rasakan sampai sekarang. Sahabat yang paling banyak memberikan saran kritikan itu teman-teman SMP. Fitri, Rini, Feby, Erna, Doli, Afni dan teman-teman lainnya. Mereka yang punya andil besar. Mereka yang selalu memotivasi saya. Mereka selalu katakan. “Nara kalau ada persoalan, sharing ke kami”. Mereka sering beri kekuatan. Itu bukti cinta mereka sebagai sahabat.

Diakon, jika ditanya, apa yang membuat ite pengen sekali menjadi imam, apa jawaban dite?

Bahwa saat ini, umat kita butuh pelayanan. Butuh para pelayan. Saya ingin menjadi pelayan Tuhan

Pertanyaan terakhir, diakon. Apakah ada pesan umat?

Terima kasih banyak. Saya menyapa para Seminari dulu e. Untuk para seminaris di Kisol atau di Labuan Bajo di wilayah Keuskupan Ruteng, tetaplah setia pada panggilan. Fokus pada jalan yang dipilih dan tetap lakukan refleksikan terus menerus sambil menemukan kemurnian panggilan Tuhan dan ketika Tuhan menentukan bahwa kita dipanggil saya berpikir kita jawab saja. Kepada para umat, hendaklah kita tetap saling mendoakan. Saling mendukung saling menjaga kemudian juga tetap membangun relasi yang baik relasi yang sehat karena kemulian Tuhan yang paling besar. (Evan Lahur/katedralruteng.org).

 

 

LINK TERKAIT